Rabu, 28 September 2011

Novel PASAR karya Kuntowijoyo

         Sastra merupakan cermin masyarakat. Keberadaan karya sastra memang tidak lepas dari masyarakat dan kenyataan sosial di sekelilingnya.  Dan memang, sastra seringkali bermula dari permasalahan serta persoalan yang berada di lingkungan kehidupan manusia. Karya sastra lahir dari hasil pergulatan antara realitas dan imajinasi pengarangnya. Dengan imajinasinya, pengarang berusaha mewujudkan sederet pengalaman kehidupannya ke dalam sebuah karya sastra. Karya sastra dapat menjadi manifestasi, potret manusia yang tumbuh dan berkembang dari suatu zaman ke zaman yang lain. Oleh karena itu, karya sastra dapat menjadi sebuah dokumen kemanusiaan yang berdampingan dengan sejarah kemanusiaan itu sendiri, yang  bermanfaat bagi masyarakat sesudahnya. Sastra hadir untuk memperluas, memperdalam, dan mempertajam kewaspadaan kita terhadap wacana kehidupan.

          Novel Pasar yang ditulis Kuntowijoyo tahun 1971 merupakan salah satu novel yang mencoba mengangkat realitas kehidupan masyarakat pada masa itu, khususnya masyarakat Jawa. Novel ini mampu menggambarkan kondisi sosial masyarakatnya. Cerita dalam novel Pasar sesungguhnya sangat sederhana. Latar cerita adalah masyarakat Jawa, yang diwakili oleh sebuah kecamatan, yaitu Kecamatan Gemolong. Tokoh yang bermain di dalamnya pun tidak banyak. Namun, tidak dapat dimungkiri, novel ini sarat makna, khususnya tentang nilai-nilai Jawa yang selama ini dianggap sangat luhur. Nilai-nilai Jawa ini menyangkut masalah sikap, jiwa, dan kebudayaannya.

         Kuntowijoyo memang orang Jawa. Sebagai sastrawan dan budayawan, beliau mampu memadukan realitas budaya yang terjadi dalam masyarakatnya dengan kelihaiannya merangkai kata menjadi sebuah novel yang memikat. Tanpa terkesan menggurui, pembaca seakan diajak untuk mengingat dan merenungkan kembali nilai-nilai Jawa yang mulai luntur ditinggalkan oleh orang Jawa itu sendiri. Nilai-nilai Jawa yang diungkap dalam novel Pasar ini adalah nilai-nilai yang semestinya dipegang teguh dan menjadi dasar bagi orang Jawa dalam mengarungi kehidupannya. Nilai-nilai tersebut antara lain sikap mawas diri, unggah-ungguh (sopan santun), hidup yang samadya, jujur, rela berkorban, bertanggung jawab, juga mengenai rahasia hidup, dan sebagainya.

        Novel Pasar mengetengahkan perubahan sosial masyarakat di sebuah kecamatan. Adanya perubahan sosial inilah yang mengakibatkan terjadinya konflik di antara tokoh-tokohnya. Konflik tersebut antara lain dialami tokoh-tokoh yang mewakili kelas priyayi agraris (Pak Mantri), wong cilik (Paijo), birokrat (Camat dan Kepala Polisi), dan pedagang kapitalis (Kasan Ngali). Konflik sosial yang dialami tokoh-tokoh dalam novel inilah yang dikemas menjadi permasalahan utama yang diangkat oleh Kuntowijoyo dalam karyanya dengan menggunakan bahasa yang segar dan jenaka.

     Jalinan ceritanya diawali dengan mengetengahkan tokoh Pak Mantri yang menjadi tokoh utama dalam novel ini. Pak Mantri adalah seorang lelaki tua yang menjabat sebagai Kepala Pasar atau Mantri Pasar di Pasar Kecamatan Gemolong. Dalam novel ini, usia Pak Mantri digambarkan lebih dari enam puluh tahun. Ia hidup sendiri di usianya yang tua itu Satu-satunya hiburan bagi Pak Mantri adalah burung-burung peliharaannya, yaitu perkutut, puter, juga burung dara yang jumlahnya sangat banyak dan dibiarkan bebas beterbangan di sekitar pasar. Dalam menjalankan tugasnya, Pak Mantri dibantu oleh Paijo yang bertugas menarik karcis (sebagai pajak) dari setiap pedagang yang berjualan di pasar itu, sekaligus merangkap sebagai tukang sapu pasar, dan juga mengurus burung-burung peliharaan Pak Mantri.

    Konflik mulai muncul ketika para pedagang pasar tidak mau membayar karcis pasar. Para pedagang kesal karena mereka merasa dirugikan oleh ulah burung dara yang berkeliaran di pasar itu. Burung-burung dara itu sering mencari makan dari bahan makanan yang mereka jual. Mereka mulai membenci burung-burung dara, bahkan ada yang mulai berani membunuhnya. Hal ini membuat Pak Mantri marah, merasa terhina, sakit hatinya. Sakit hati Pak Mantri bertambah ketika Zaitun, pegawai Bank Pasar yang selama ini dikasihinya, ikut pula membenci burung-burung dara itu. Bank Pasar yang dipegang Zaitun menjadi sepi, tidak ada penabung. Burung dara pula yang dianggap sebagai penyebabnya. Orang-orang pasar tidak mampu menabung, karena keuntungan mereka telah dimakan burung-burung dara. Permasalahan tidak berhenti sampai di situ. Kasan Ngali, orang kaya pemilik toko di depan pasar, memanfaatkan situasi itu dengan mendirikan pasar baru dan Bank Kredit di pekarangannya. Pasar Kasan Ngali pun tidak ditarik karcis. Hal ini akhirnya membuat para pedagang pasar pindah ke pasar Kasan Ngali. Keadaan ini semakin membuat Pak Mantri geram. Konflik itu kemudian berkembang dengan melibatkan tokoh-tokoh lain (Camat, Kasan Ngali) dalam lingkup masalah yang lebih luas, yang menyangkut masalah sosial ekonomi, politik, dan budaya itu sendiri. Namun, kegeraman Pak Mantri justru membuat Pak Mantri mawas diri. Pak Mantri mencoba menyelesaikan persoalan dengan berpijak pada nilai-nilai Jawa yang selama ini diyakininya. Mengolah rasa dan pikir, sehingga mampu menyelesaikan persoalan dan tampil sebagai pemenang dalam konflik tersebut bersama Paijo, anak buahnya.

       Sebagaimana telah diutarakan di muka, konflik dalam cerita ini dialami tokoh-tokohnya yang mewakili kelas masing-masing. Tokoh-tokoh dalam novel ini adalah sosok yang ditampilkan Kuntowijoyo untuk mewakili manusia Jawa yang sedang bergulat menghadapi perubahan yang terjadi di masyarakatnya. Sebuah cerita dibangun oleh pelaku yang berperan sebagai tokoh protagonis dan antagonis. Kedua pelaku inilah yang akan menghidupkan jalinan alur cerita, hingga timbul riak-riak pertentangan yang menajam. Dalam novel ini, tokoh protagonis Pak Mantri dipertentangkan dengan tokoh antagonis Kasan Ngali.

       Pak Mantri, orang Jawa yang berasal dari kelas priyayi. Sebagai Mantri Pasar, pegawai pemerintah yang juga orang Jawa, ia berusaha menjalankan tugasnya dengan berlandaskan nilai-nilai Jawa yang diyakininya. Hal ini terlihat pada sikapnya dalam menghadapi setiap persoalan dan juga pada petuah-petuahnya yang sering ia berikan kepada Paijo, tukang karcis pasar yang menjadi anak buahnya. Memang, sebagai orang yang punya jabatan, kadang ia juga terlihat suka memerintah, juga mudah marah jika yang diperintah tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini dia lakukan semata-mata rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diamanatkan kepadanya.

       Melalui tokoh Pak Mantri, pengarang mencoba menggambarkan sosok manusia Jawa yang tetap memegang teguh nilai-nilai budaya Jawa di tengah gelombang perubahan yang terjadi di masyarakatnya. Nilai Jawa yang diyakini Pak Mantri adalah bahwa dalam menjalani hidup manusia harus bersikap samadya. Meskipun memiliki jabatan, Pak Mantri tidak menggunakannya untuk menancapkan kekuasaan atau pun menumpuk kekayaan. Dengan sikap samadya manusia akan dapat mengukur kemampuannya, tidak memaksakan kehendak untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin diraihnya. Hal ini terlihat pada nasihat Pak Mantri pada Paijo berikut, ”Kerjakanlah apa yang bisa kau kerjakan. Jangan serakah. Apakah yang kita cari? Sesuap nasi untuk hidup. Hidup bukan untuk makan, tetapi makan untuk hidup. Mengapa engkau gelisah? Karena engkau ingin lebih dari yang kau bisa dapatkan. Jangan, Paijo. Jangan.” (h. 116).

        Sikap Pak Mantri ini bertentangan dengan tokoh Kasan Ngali, orang Jawa dari kelas pedagang kapitalis.  Kasan Ngali telah terbawa dan hanyut oleh arus perubahan. Sebagai orang Jawa, ia tidak lagi memegang teguh nilai-nilai Jawa. Kasan Ngali bersifat serakah. Sebagai pedagang, Kasan Ngali suka menimbun barang untuk kemudian dijual dengan harga tinggi pada musim paceklik. Meskipun sudah kaya, ia tidak pernah puas dengan kekayaan yang dimilikinya. Dalam kehidupan rumah tangga pun, ia berulang kali kawin cerai. Ia hanya memikirkan keuntungan sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri, tanpa memikirkan orang lain. Dalam menghadapi ulah Kasan Ngali yang mendirikan pasar baru dan Bank Kredit, Pak Mantri tidak terburu nafsu untuk marah atau melabrak Kasan Ngali.  Bagi Pak Mantri kemarahan justru akan menjatuhkan namanya sendiri. Sebagai orang Jawa, ia memiliki prinsip bahwa orang hidup di dunia ini sebaiknya memiliki tiga watak, yaitu rereh, ririh, dan ngati-ati. Rereh, artinya sabar dan bisa mengekang diri. Ririh, artinya tidak tergesa-gesa dalam bertindak, mempunyai pertimbangan matang untuk sebuah tindakan dan keputusan. Ngati-ati, artinya berhati-hati dalam bertindak (Herusatoto, 2000:83). Sikap rereh, ririh, dan ngati-ati ini diperlihatkan tokoh Pak Mantri sebagaimana tampak dalam kutipan berikut, ”Firasat menyuruhnya jangan terburu nafsu. Tamatkan baik-baik, baru nanti bertindak. Biar segalanya terang. Tunggu saat yang tepat untuk muncul.” (h. 108-109). Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati, berarti manusia dapat menguasai nafsunya. Manusia akan sempurna bila dapat menguasai nafsu. Sementara itu, orang yang dikuasai nafsu akan berbahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Dengan sikap rereh, ririh, dan ngati-ati tentu akan dapat melahirkan penyelesaian yang baik.

        Sebaliknya, Kasan Ngali sudah tidak memiliki sikap rereh, ririh, dan ngati-ati. Kasan Ngali selalu tergesa-gesa dalam bertindak. Untuk menuruti nafsunya, Kasan Ngali tidak berpikir matang. Bahkan jika perlu menghalalkan segala cara. Asalkan hal yang dikehendakinya segera tercapai. Untuk menguasai orang pasar, ia mendirikan pasar baru, mendirikan bank kredit. Untuk mendapatkan Zaitun, ia membeli mobil, dan sebagainya. Hingga akhirnya dia justru menderita kerugian, jatuh bangkrut, sementara apa yang diharapkannya tidak terwujud.

       Dalam pergulatan menghadapi perubahan di masyarakatnya, sebagai orang Jawa, Pak Mantri menjauhkan diri dan membenci watak adigang, adigung, adiguna (h. 44, 92, 127). Watak adigang adalah watak sombong, karena mengandalkan kekayaan dan pangkat. Watak adigung adalah watak sombong karena mengandalkan kepandaian dan kepintaran, lantas meremehkan orang lain. Watak adiguna adalah watak sombong karena mengandalkan keberanian dan kepintaran berdebat (Herusatoto, 2000:83). Hal tersebut tampak pada dialog batin Pak Mantri berikut ini. ”…..Terhindarlah Pak Mantri dari perbuatan tercela, menyombongkan kekayaan. Satu dari sekian macam perbuatan yang tak patut dikerjakannya. Menyombongkan kepandaian, menyombongkan kesaktian, menyombongkan pangkat, menyombongkan kekayaan.” (h. 92). Padahal, Pak Mantri termasuk orang yang punya jabatan dan disegani oleh orang di kecamatan itu. Sementara itu, sifat sombong justru lekat pada diri Kasan Ngali. Kasan Ngali selalu berusaha memamerkan kekayaannya. Ia selalu beranggapan bahwa dengan uang ia dapat melakukan segala yang diinginkannya; merendahkan orang lain, membeli mobil, mendapatkan perempuan, memiliki orang-orang pasar, memiliki burung dara, dan sebagainya. Ketika memiliki mobil baru, ia pun memarkirnya di dekat pasar supaya dilihat banyak orang. Jika memberikan sesuatu pada orang lain tidak didasari sikap kerelaan. Namun, Kasan Ngali hanya ingin memamerkan kekayaan. Bahkan seringkali juga untuk mengharapkan hasil (keuntungan) yang lebih besar. Ia memberikan hadiah kepada Zaitun dengan maksud untuk mendapatkan cinta Zaitun. Ia membantu dengan memberikan kredit pada orang-orang pasar, tetapi juga mengharuskan mereka untuk membayar bunga pinjaman itu. Membeli gaplek pada orang-orang untuk dijual dengan harga yang tinggi pada musim paceklik.

        Sebagai manusia Jawa, Pak Mantri juga dihadirkan Kuntowijoyo sebagai orang yang selalu mengutamakan rasa. Orang Jawa memang berpandangan bahwa pusat manusia adalah pada rasa (hati). Sebagaimana pepatah yang berbunyi, ”Wong Jawa nggoning rasa, pada gulange ning kalbu, ing sasmita amrih lantip, kuwono nahan howo, kinemat mamoting driyo” (Orang Jawa itu tempatnya di perasaan, mereka selalu bergulat dengan kalbu atau suara hati, agar pintar dalam menangkap maksud yang tersembunyi, dengan jalan menahan nafsu sehingga akal dapat menangkap maksud yang sebenarnya. (Herusatoto, 2000:78). Pandangan hidup orang Jawa ini lekat sekali pada diri Pak Mantri. Hal ini terlihat pada nasihat panjang Pak Mantri pada Paijo (h. 116-118). Sebagai orang Jawa Pak Mantri meyakini bahwa orang akan berbahagia jika dapat menguasai rasa. Rasa pun juga harus ditajamkan. Sementara itu, perkembangan zaman sering kali justru membuat banyak orang membunuh rasa, dengan mengejar uang, mengejar pangkat, mengejar kesenangan. Orang yang mati rasa berarti telah hilang kemanusiaannya.

        Pandangan hidup orang Jawa yang selalu mengutamakan rasa ini juga digunakan Pak Mantri untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapinya, sehingga ia berhasil menyelesaikan persoalan yang dihadapinya dengan baik. Ia mampu mengambil suatu keputusan yang bagi orang lain sangat luar biasa, yaitu ia memberikan burung-burung dara yang selama ini sangat dicintainya kepada siapa saja yang ingin memilikinya. Ia menganggap hal itu sebagai sedekah. Keputusan ini tidak menunjukkan kekalahan Pak Mantri, tetapi justru suatu kemenangan. Karena keputusan tersebut didasari oleh kesadaran Pak Mantri bahwa burung-burung daranya selama ini telah sering merepotkan para pedagang. Pak Mantri mengakui kesalahannya (h. 189). Di samping itu, keputusan tersebut juga didasari sifat rela berkorban demi kepentingan orang banyak. ”Korbankanlah dirimu untuk tujuan yang lebih besar. Dan masyarakat lebih berarti dari sekedar kesenanganmu. Cobalah, membahagiakan diri dengan kebahagiaan orang lain.” (h. 201).  Di samping itu, Pak Mantri juga memutuskan untuk pensiun agar yang muda bisa menggantikan.

         Di tengah derasnya gelombang perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, Pak Mantri masih juga memegang sikap budi luhur. Ia selalu berusaha menjalankan hidupnya dengan segala tabiat dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Mulia. Pak Mantri mengutamakan kejujuran dan kesetiaan dalam menjalankan tugasnya. Ia juga tidak mau berprasangka buruk pada orang lain (h. 185). Tidak membenci orang lain, karena yang salah bukan orangnya, tetapi perbuatannya. Ketika Kasan Ngali jatuh, ia tidak menunjukkan rasa gembira. Bagi Pak Mantri, sebagai orang Jawa, tidak baik menertawakan nasib buruk orang lain. Padahal, sangat jelas bahwa Kasan Ngali selama ini memusuhinya. Hal tersebut terlihat pada nasihat Pak Mantri kepada Paijo dalam kutipan berikut.

….”Sebentar lagi engkau akan jadi orang lain, Nak. Setiap orang harus sadar akan kedudukannya. Tukang gerobag boleh tertawa keras. Tetapi seorang kepala pasar tidak. Seorang guru tidak. Lagi pula yang penting, ingatlah bahwa kau orang Jawa. Ketika engkau gembira, ingatlah pada suatu kali kau akan mendapat kesusahan. Apalagi menertawakan nasib buruk orang lain, Nak. Jangan, sekali-kali jangan. Orang yang berpangkat harus berbuat baik, suka menolong. Kalau ada yang kesusahan, harus bisa membantu. Jangan malah menertawakan. Kalau tidak bisa membantu, menyesallah. Dan berjanjilah suatu kali kau akan membantu. Sebaliknya ikutlah berduka cita atas kemalangan orang lain. Engkau boleh tertawa apabila saudaramu beroleh kesukaan. Bersusahlah bersama orang yang susah, bergembiralah bersama orang yang bergembira. Renungkanlah, Nak.”….(h. 256).

       Kutipan tersebut menggambarkan sifat-sifat yang harus dimiliki orang Jawa. Orang Jawa harus memiliki unggah-ungguh (sopan santun), mengetahui bagaimana harus berperilaku sesuai dengan kedudukan yang dimilikinya. Tidak boleh menertawakan kesusahan orang lain, karena orang Jawa juga memiliki fisafat bahwa hidup itu ibarat cakra manggilingan, roda yang terus berputar. Suatu saat manusia akan mendapat kegembiraan, dan pada saat yang lain akan mendapatkan kesusahan. Oleh karena itu, harus bisa membantu yang susah, dan waspada jika sedang berada di atas (mendapat kegembiraan). Terlebih sebagai orang yang berpangkat.

Tokoh lain yang dihadirkan Kuntowijoyo adalah Paijo. Paijo merupakan orang Jawa yang mewakili kelas wong cilik. Paijo digambarkan sebagai orang Jawa yang tetap memegang teguh nilai-nilai Jawa di tengah zaman yang semakin berubah. Sebagai wong cilik, Paijo senantiasa menghormati pimpinannya (Pak Mantri). Meskipun ia sering mendapat marah dari pimpinan. ”…….Tetapi dimarahi Pak Mantri tidak sangat menyakitkan hati. Selain atasannya, juga ia menghormatinya sebagai orang tua. Mengadu salah, tidak mengadu juga salah.” (h. 31). Bahkan seringkali omelan Pak Mantri dianggap sebagai pelajaran diresapkan dalam hatinya.

Sebagai orang Jawa, Paijo memiliki sikap setia. Setia kepada Pak Mantri, atasannya, juga pada pekerjaannya. Wujud kesetiaannya pada Pak Mantri tidak hanya dilakukan dengan kerja keras, tetapi ia pun berusaha untuk selalu tahu diri. Sadar akan posisinya sebagai bawahan dan juga sebagai orang yang lebih muda dari Pak Mantri. Hal ini menunjukkan Paijo masih memegang nilai unggah-ungguh. Hal tersebut terlihat dalam gambaran perasaan Paijo dalam kutipan berikut ini. ”Hanya Paijo tidak tahu persis, apakah yang telah membuatnya terikat dengan laki-laki tua itu. Di samping Pak Mantri, ia merasa kecil. Sekalipun ia kadang-kadang kurang ajaran. Namun, jauh dalam hatinya ada yang menyuruhnya hormat. Tidak dimengerti benar sebabnya, tetapi begitulah.” (h. 86).

Wujud kesetiaan Paijo juga terlihat saat Paijo diiming-imingi Kasan Ngali agar ia pergi dari Pak Mantri dan ikut padanya. Padahal, jika ikut Kasan Ngali yang kaya, tentu Paijo juga akan mendapat imbalan yang lebih besar dari Kasan Ngali dibanding dengan gajinya sebagai tukang karcis pasar.  ”………..Sekalipun ia suka juga pada Kasan Ngali dalam beberapa hal, kesetiaannya pada pasar dan Pak Mantri tak usah diragukan. Ia mencurigai kesibukan di rumah Kasan Ngali itu. Orang-orang sedang ramai mendirikan papan nama di situ. Walaupun bagaimanapun juga, memang ia memakai istilah itu untuk merumuskan perasaannya, ia tetap setia pada pekerjaannya.” (h. 126). Meskipun hanya wong cilik, Paijo tidak silau oleh materi. Paijo juga beranggapan bahwa kehormatan tidak dapat dibeli dengan uang (h. 137). Paijo lebih mengutamakan martabat.

Hal yang juga menarik dari novel Pasar adalah kecerdasan Kuntowijoyo dalam mengkritik masalah sosial ekonomi. Hal ini terlihat pada penggambaran tokoh Kasan Ngali, pedagang kaya yang hanya memikirkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Kasan Ngali suka menimbun barang untuk dijual dengan harga tinggi pada musim paceklik. (h. 59).  Juga mengenai pendirian Bank Kredit yang tidak mengajar orang untuk menabung, tapi malah mengajar orang untuk berutang. Memberikan kredit hanya merangsang orang untuk hidup mewah, tidak untuk berproduksi. (h. 184). Pinjaman pun diberikan dengan meminta bunga pengembalian. Orang kaya yang tampaknya mau menolong, tapi sebenarnya justru menyengsarakan orang miskin.

Kuntowijoyo juga memaparkan realitas yang terjadi di masyarakat yang  menyangkut masalah birokrasi. Hal ini terlihat ketika Pak Mantri akan melaporkan orang-orang pasar yang tidak mau membayar karcis pasar kepada Camat, Kuntowijoyo menyodorkan realitas tentang rumitnya birokrasi di masyarakat kita. Untuk menemui seorang camat harus mengisi buku tamu, duduk menunggu tanpa tahu kapan akan dilayani. Sementara birokrat sendiri, yang dalam cerita ini adalah tokoh Camat, suka menggunakan jam dinasnya untuk kesenangan pribadi (h. 43-44). Juga tentang polisi yang seringkali tidak tuntas dalam menyelidiki suatu masalah. Kuntowijoyo juga menyinggung dunia politik yang seringkali membolak-balikkan keadaan. Yang benar bisa salah, dan salah bisa benar (h. 107).

Dalam masalah sosial budaya, Kuntowijoyo mengkritik kesenian Jawa yaitu ketoprak. Seiring perkembangan zaman, ketoprak mulai luntur jiwa Jawa-nya karena seringkali disalahgunakan hanya untuk mencari keuntungan bisnis. Misalnya dengan memasang pemain perempuan yang cantik, menampilkan adegan yang menjurus ke pornografi, dan sebagainya, sebagai sarana untuk menarik penonton. Semakin banyak penonton, tentu semakin banyak keuntungan yang diraih. Tidak dipikirkan lagi nilai-nilai Jawa yang seharusnya menjadi jiwa sebuah pertunjukan ketoprak. Kritik Kuntowijoyo ini terlihat pada ucapan Pak Mantri kepada Paijo sebagai berikut.

”…..Sebentar lagi semua orang akan berduyun-duyun nonton ketoprak. Betul, itu kesenian Jawa. Tetapi apa yang mereka perbuat? Huh, tidak ada yang bisa disebut Jawa. Jawa itu bukan topengnya, tetapi hatinya. Dalamnya, bukan kulit luarnya. Kulit luar itu berkerut kalau kau tua. Kulit luar itu mengelupas. Hanya jiwalah yang penting.” (h. 275)

Orang Jawa harus tahu sastra. Dalam sastra, misalnya tembang-tembang Jawa termuat apa yang baik bagi orang Jawa. Banyak mengandung pelajaran yang dapat dijadikan bekal dan pegangan dalam menjalani kehidupan. Misalnya, tembang Asmaradana, yang merupakan lambang cinta manusia kepada orang lain, kepada hidup, kepada jagat raya, juga kepada Sang Pencipta. Jiwa Jawa dalam tembang tidak mudah luntur dibanding kesenian ketoprak.

Zaman memang selalu berubah. Namun, bukan berarti perubahan zaman membuat manusia juga harus berubah. Terlebih jika perubahan itu membuat manusia meninggalkan nilai-nilai luhur yang dimilikinya. Pak Mantri dan Paijo merupakan potret manusia Jawa yang tetap teguh memegang nilai-nilai Jawa di tengah gelombang perubahan zamannya. Dengan nilai-nilai Jawa yang tetap dipegang dalam menjalankan kehidupan mereka, membuat mereka lebih bijaksana dan bermartabat, menjadi manusia sempurna. Mereka juga akhirnya yang menjadi pemenang dalam konflik yang terjadi. Menang tanpa menjatuhkan, karena musuh terbesar manusia adalah nafsunya sendiri. Orang-orang pasar, dengan kesadaran tanpa dipaksa, mau kembali berjualan di pasar. Kasan Ngali, orang yang selama ini memusuhinya, jatuh tanpa mereka jatuhkan. Dan novel ini pun ditutup dengan kalimat Pak Mantri sebagai berikut.

            ”Kitalah orang Jawa yang terakhir, Nak.”

Mereka berjalan lagi.

            ”Yang mementingkan budi, lebih dari pada ini.” Pak Mantri menggesekkan empu jarinya dengan telunjuk, ”Yang mementingkan martabat daripada pangkat.” (h. 270)

Sebagai karya sastra, novel ini mampu dan berhasil menghadirkan realitas yang terjadi di masyarakat. Novel ini juga mampu membuka wawasan pembaca mengenai perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat pada suatu perjalanan sejarah kehidupan manusia, khususnya masyarakat Jawa. Makna yang terdapat dalam novel ini dihadirkan melalui proses pergumulan pelaku dengan peristiwa-peristiwa tertentu yang mereka alami dalam hidupnya. Novel ini ingin kembali menunjukkan keluhuran budaya Jawa yang seiring perkembangan zaman mulai ditinggalkan.

Tidak dapat dimungkiri, dalam novel ini Kuntowijoyo mampu bertutur dengan lancar mengenai nilai-nilai Jawa (samadya, mawas diri, unggah-ungguh, jujur, sabar, tidak sombong, setia, rela berkorban, dan sebagainya). Nilai-nilai Jawa itu sendiri sebenarnya juga nilai luhur yang bersifat universal sehingga dapat juga dimiliki dan dipakai oleh orang yang bukan Jawa. Novel ini layak dibaca oleh siapa pun. Banyak pelajaran dan nasihat yang dapat diambil pembaca dari novel ini. Pelajaran dan nasihat itu pun dapat dijadikan bekal dan pegangan pembaca dalam mengarungi kehidupan nyata. Nasihat dan petuah mungkin sering kita dengar. Namun, nasihat dan petuah yang disampaikan melalui karya sastra kadang justru semakin mudah terserap dan tertanam dalam hati sanubari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar